Jangan lupa bilang amit-amit [Bag.1]
"Eh, amit-amit!"
Suara itu berasal dari perempuan paruh baya yang duduk di samping kiriku, sementara pandanganku masih asyik memperhatikan gemericik air yang pecah di sela-sela bebatuan di hadapanku.
"Amit-amit, mas! Lagi hamil lho!" Suara itu kembali terdengar, kali ini dengan nada lebih tinggi. Aku menoleh pada pemilik suara, perempuan yang kupanggil ibuk itu. Lalu kembali memperhatikan aliran air lagi.
Menantu perempuan di sebelahnya ikut berkata pelan.
"Amit-amit..."
Pandangan dua perempuan itu memang menuju ke arah yang lain denganku. Pada sekumpulan pemuda bercampur dua pemuda tanggung yang baru saja berkeluarga, yang sedang main air di bagian kanan, agak tersembunyi dari pandanganku karena dudukku yang sedikit bergeser miring ke kiri. Sedang aku masih belum mengerti kalau yang sedang mereka bicarakan adalah kaka, suamiku.
Aku hanya tersenyum dengan sedikit suara, masih belum mengalihkan perhatianku. Sengaja memang tidak kualihkan pandanganku ke sana, karna tadi sempat kulirik beberapa dari mereka ada yang sudah membuka baju kaosnya untuk menikmati sejuknya aliran air di sungai kecil itu. Mungkin para lelaki itu sedang melakukan atraksi kecil atau apalah di atas sungai itu, entah menceburkan diri atau melompat diantara bebatuan besar.
"Harus bilang amit-amit." Ibuk berkata pelan sambil menyuapkan singkong rebus yang ia haluskan dengan jemarinya ke mulut cucu pertama dalam gendongannya. Aku mendengar sambil menatap bayi cantik dan menggemaskan yang baru masuk usia MPASI itu mengunyah.
"Sering bilang amit-amit nggak?" Menantunya, ibu dari si bayi mengajukan pertanyaan.
"Ah, eh..." Aku yang tersadar kalau mereka berbicara padaku gelagapan menanggapi.
"Bilang amit-amit ya kalau mau ngelakuin apa aja. Bercermin, nyisir rambut, motong sayur." Ibuk menjelaskan.
"Aku juga dulu gitu. Dikit-dikit bilang amit-amit. Masuk wc, bilang amit-amit. Ganti pakaian, naik motor. Dari masih hamil berapa bulan itu ya"
"Pokoknya suami istri tu harus selalu bilang amit-amit."
"Si Aa juga gitu. Pokoknya di jalan, amit-amit. Pas ngisi bensin, amit-amit." Kenang sang menantu menyebut suaminya Aa.
Aku mendengar dengan seksama sambil tetap melebarkan senyum. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutku.
"Lukanya sudah kering, buk" Kataku menunjuk luka di kaki ibuk, setelah hening beberapa saat. Luka itu baru saja ia dapatkan saat menyeberang sungai tadi. Ibuk menepuk remahan daun pohon gamal yang tadi dioleskan ke luka setelah dikunyah kasar oleh ayah.
Lalu aku kembali asyik sendiri sambil mengunyah singkong goreng dari kantong bekal, kali ini aku sibuk memperhatikan susunan batu yang tadi dibentuk oleh satu dari pemuda-pemuda itu. Tapi pikiranku melayang pada ucapan ibuk, dan pada nasihat kaka beberapa menit lalu saat motor yang kami kendarai memasuki kawasan ini.
"Bismillah, jangan lupa do'a dek." Kaka memecahkan keasyikanku merekam pemandangan sekitar dengan gawai di tangan.
"Hmm?"
"Udah tau belum do'a kalau kita datang ke suatu tempat baru?"
"Gimana tuh kak?"
"A'uudzuu... bikalimatillahi.." ia mematah-matahkan ucapannya, mungkin biar bisa kuikuti.
" A'uudzuu bikalimaatillaahittaammaati min syarri maa kholaq."
Aku langsung berucapan beriringan dengannya karna ternyata itu adalah satu dari lafadz-lafadz dalam dzikir pagi-petang yang biasa kubaca.
Ada sebuah kontras di sana yang membuatku tersenyum dan bersyukur dalam hati.
Saat berpamitan pulang, kami kembali dinasehati ibuk untuk tidak lupa bilang amit-amit ketika akan melakukan suatu pekerjaan. Cukup panjang. Sementara kaka menanggapi dengan terkekeh kecil.
"Jangan ketawa, mas. Dipraktekkin." Tukas ibuk.
Ketika berhenti di POM bensin dan kaka membuka kunci jok motor, menantu perempuan ibuk yang berada pada antrian di depan kami, bergumam sambil menatap kaka "Amit-amit, mas"
Aku dan kaka tersenyum lagi.
"Bismillaahilladzii laa yadhurru ma'asmihi syai'un fil ardhi walaa fissamaa' wahuwassamii'ul 'alim..." Bisikku pada diri sendiri sambil melangkah menepi di tempat teduh, menunggu giliran kaka mengisi bensin.
Kaka menasehatiku panjang ketika motor kami dan si Aa serta menantu ibuk terpisah jarak lumayan jauh karena kemacetan di akhir minggu.
Niat-niat itu baik, budaya sopan santun ala Sunda yang sudah ada dari dulu dalam sepengetahuanku. Selain di Jawa, budaya seperti ini juga masih ada di daerah lain dengan bahasa atau istilah di daerah itu sendiri tentunya. Hanya agaknya, tata krama semacam ini perlu disentuh lagi dengan suntikan tauhid. Agar lebih jelas, kepada siapa kita meminta permisi, kepada siapa kita meminta perlindungan. Wallahu A'lam bishshowab.


0 Response to "Jangan lupa bilang amit-amit [Bag.1]"
Silahkan tinggalkan komentar di sini. - Please, leave a comment here.