Tidak ada piket masak lagi di pondok

[18 Juni 2020]

“Sudah tidak ada piket masak santri lagi, jadi mereka dimasakkan, tidak masak sendiri lagi” Aku menjawab pertanyaan beliau dengan suara samar-samar.

Beliau terdiam Sebentar. Lalu akhirnya bersuara.

“Itu bukan sebuah perubahan yang baik dari kacamata saya. Karena ini membuat para santri jadi semakin manja dan tidak tau bagaimana mengahadapi realita kehidupan yang kompleks antara membagi waktu Belajar, kerja, nyuci, urusan dapur, dll. Gontor saja yang pesantren besar tetap menerapkan memasak dan mencuci sendiri.”

Ini karena yang ingin dilatih adalah kemampuan mandiri dan terampil, kemandirian dan ketrampilan. Bukan hanya sekedar pintar.

Lalu saya jadi ingat tentang postingan ust Moh Fauzil Adhim berjudul Anak-Anak yang Mati Rasa, yang isinya tentang anak-anak yang tak mengenal pekerjaan rumah tangga, dan pesantren maupun sekolah berasrama yang tak lagi menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar tentang kehidupan.

Saat membaca itu saya seperti ditampar dan diingatkan lagi bagaimana saya selalu diprotes, bahkan sampai sekarang, tentang bagaimana saya mengerjakan pekerjaan rumah ketika pulang kampung pertama kalinya setelah empat tahun merantau sejak SMP hingga SMA kelas 1. Terbiasa dimasakkan dan pakaian seragam di laudry kan menjadikan saya banyak “buta” pekerjaan rumah sampai-sampai ibu saya mengatakan bahwa ia menyesal kami sekolah disana karena terbiasa dilayani. Ya bukan dilayani sih, tapi lebih kepada kami tidak pernah menghadapi pikiran ruwet bagaimana dan kapan makanan sudah harus siap di meja sementara kami sudah harus siap sekolah, halaman bersih dan tugas sekolah beres. Karena ini semua tentang masalah keterampilan.

Tentu saja saat SD, kami sudah dilatih tapi hanya sebatas, pagi halaman rumah kontrakan kami yang sangat luas itu sudah harus beres sebelum sarapan dihidangkan ummi, dan di akhir minggu, kami mencuci kaos kaki, sepatu, tas dan beberapa cucian ringan lainnya. Tapi tentang bagaimana sarapan sudah siap, tentu saja belum. Sedangkan di usia kelas 2 SMA di daerahku, orang akan memandang para gadis sebagai perempuan yang sudah pintar masak dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Tidak dipungkiri bahwa dari segi otak, saya memang tidak bisa diremehkan. Tapi, dalam pekerjaan rumah tangga di usia 16 tahun saya baru mulai belajar lagi. Tentu saja tidak ada kata terlambat. Tetapi tentu saja, dengan latar belakang kami yang bukan serba dilayani oleh ART di rumah, baru belajar urusan dapur di usia 15 tahun terasa sangat disayangkan.

Tentu saja saya tidak menyalahkan sistem pembelajaran yang ada di pondok tempat saya menimba ilmu itu. Hanya saja, memang tidak pas kurikulum kehidupannya dengan kehidupan saat saya kembali ke kampung halaman yang di pelosok desa.

[19 Mei 2024]

Setelah beberapa tahun tulisan ini didiamkan, saya kembali dan menyadari bahwa perkataan beliau di awal sangatlah benar adanya.

Selain melatih para santriwati menjadi seorang wanita cerdas, kita juga harus menyiapkan mereka menjadi wanita yang terampil. Terampil dalam hidup, dalam mengahdapi masalah, dalam pekerjaan rumah. Dan semua itu bisa dilatih dari mencuci piring ataupun piket masak.

Saya kembali menghubungkan kondisi saya. Setelah bertahun-tahun kejadian tersebut, tentu saja sekarang saya lebih mahir. Tapi saya jadi berpikir banyak tentang bagaimana para santri kami seharusnya dilatih sedari dini. Sebuah kurikulum kehidupan tentang kemandirian dan kepekaan. Peka terhadap keperluan sendiri, tugas rumah tangga, lingkungan, dll.

Baiklah, mari jangan hilangkan piket asrama, piket cuci piring atau bahkan piket bantu memasak di sela-sela belajar mereka. Karena sungguh itu semua jadi sebuah bekal keterampilan yang sangat berharga ketika sudah keluar dari pondok nantinya.

 

Salam!