Refleksi 2025 (1): Memberi ruang baru bagi diri
Assalamu'alaikum.
Hey! saya masih merasa 2025 itu terasa seperti dimulai sebulan lalu. Sepertinya Januari baru saja beranjak. Januari di pertengahan bulan yang memulai perjalanan baru bagi saya. Penuh warna, sukacita. Setelah keresahan panjang sebelumnya yang menyeret saya menjadi manusia yang banyak sakitnya.
Ini memang masih akhir Oktober. Masih ada 2 bulan lagi sebelum 2025 benar-benar berakhir, tetapi tahun ini saya ingin menulis refleksi menjadi beberapa bagian. Jadi saya memulainya lebih awal untuk bagian pertama ini.
Singkatnya, 2025 adalah tahun saya memberi ruang kepada diri untuk banyak hal yang benar-benar baru, untuk keluar dari ruwetnya isi kepala sendiri.
Masih teringat respon beberapa orang ketika iseng bercelutuk bahwa hati saya sedang galau.
"Ummu bisa galau juga nih..."
"Uuuh... yang lagi galau"
Hati yang lemah ini cuma haha-hehe saja. Mungkin bukan galau yang parah. Hanya sedang merasakan bingung dan kegundahan berlebih dalam menentukan pilihan.
Tapi ya saya bercelutuk begitu untuk galau yang menurut saya tidak privasi-privasi amat. Hanya seputar bingung ngerjain ini atau itu. Mau ngabdi di pondok atau mau di kampung saja. Atau paling banter pas mau resign karna diminta pulang kampung terus.
Banyak sih perasaan galau yang saya alami. Tapi saya lebih suka menuangkannya ke dalam tulisan-tulisan random; di buku, notes hp, ataupun blog. Dibanding menulisnya di status/story, saya lebih nyaman menuliskan di blog. Soalnya kalau di status, pendek saja dan terasa lebih banyak mata yang akan melihat kondisi hati ini. Eak.
Memangnya punya gitu masalah hati sama orang? Uhuk! Adanya juga paling rasa kagum tuh yang tidak pernah berbalas... uuuuh syakiiit! Eh, enggak sih. Nggak sakit. Soalnya memang nggak ada perasaan lain juga selain kagum. Karna kalau saya mau punya perasaan komitmen sama orang, pasti saya pikir matang-matang dulu. Bukan asal seneng dan kagum aja. Soalnya kalau kagum mah sama influencer muda di sosmed juga banyak. Kagum aja sama ilmunya, gak sampe ngebayangin jadi pendamping hidup mereka juga. Yaa yang rasional dikit, lah. Tapi kalau tiba-tiba ada keajaiban diajak serius ya paling saya jadi dar-der-dor-serrrrr gitu kan.
Paling kalau saya merasa belum siap, ya paling saya ambil cermin lalu berkaca sedalam dan selama yang saya bisa sebelum mengambil satu keputusan penting kedepannya.
Dua tahun berlalu, rasa galau saya rupanya semakin kompleks. Kerjaan yang punya berpuluh pertimbangan. Ibu yang sendirian di kampung yang juga punya berpuluh pertimbangan lebih kompleks lagi. Ditambah usia yang memang sudah sepatutnya untuk jadi istri orang, tapi saya belum merasa siap ataupun cocok dan sreg dengan kandidat-kandidat yang datang. Semua kegalauan itu bertumpuk dan membuat saya jadi sering malas makan karna tidak punya teman makan. Diperparah beban kerja yang cukup luar biasa membuat saya jadi sering bergadang. Lalu akhirnya bolak-balik jatuh sakit dan kehilangan banyak berat badan. Yang aslinya sudah kecil, pendek dan ringan, hanya menang chubby karna postur tulang pipi yang cukul menonjol, jadi semakin kurus dan kelihatan tulang serta urat saya yang besar-besar di tangan. Ternyata, sakit maag saya sudah cukup parah.
Dari kesemua kekacauan diri, saya memutuskan untuk resign. Dengan berbagai pertimbangan, diskusi dan penawaran, surat pengunduran diri saya akhirnya diterima. Bersama catatan bahwa saya boleh kembali kapan saja saya mau. Dan saya sangat berterimakasih untuk itu.
Saya pulang ke kampung dan perlahan pulih bersama perawatan dan pikiran yang jauh dari beban kerja. Ditambah makan yang lebih bergizi dan terjaga, dicecoki perhatian dan kasih sayang keluarga, berat badan saya kembali lagi dan air muka saya lebih bersinar.
Namun memang dasar diri yang merasa ingin banyak buat ini-itu dan merasa pengen punya penghasilan dan pekerjaan sendiri, baru masuk bulan ke 4 rehat, saya sudah merasa ingin keluar lagi dari kampung halaman.
Bukannya tidak ada lowongan pekerjaan di kampung, hanya saja saya terlalu punya banyak pertimbangan. Salah satunya adalah, saya tidak mau bekerja di lingkungan yang bercampur dengan laki-laki. Dan itu belum saya temukan di kampung maupun ibukota kabupaten yang sesuai dengan latar pendidikan dan kapasitas saya.
Ditambah panggilan dan tawaran untuk segera kembali ke tempat saya resign sebelumnya yang terus berdatangan, akhirnya saya berizin-izin lah lagi sambil memohon dan berjanji akan lebih menjaga kesehatan kepada ibu saya dan keluarga yang ikut merawat selama masa pulih, merasa terlalu berat melepaskan.
Tapi rupanya ungkapan "You can't heal in the same environment that made you sick" itu berlaku dengan segera saja bagi saya.
Kembali, menjadi keputusan yang meski ada kebaikan di dalamnya, rupanya tidak baik-baik saja bagi saya pribadi. Beban kerja masih sama. Dan segala kegalauan yang kemarin sudah sempat terkubur, kembali tumbuh subur. Ditambah perasaan bahwa lingkungan kerja menjadi semakin kacau saja.
Saya tetap berusaha memberikan yang terbaik yang saya bisa. Tidak terlalu menyiksa diri dengan banyak pikiran. Tidak memaksakan diri dalam pekerjaan sampai bergadang. Tidak ambil pusing dengan kekacauan yang terasa di luar kendali saya. Tidak terlalu bersuara lantang atau memberikan pendapat di rapat-rapat. Dan tidak lupa, rajin makan.
Tapi justru disitulah rasa galau itu juga bertumbuh subur.
"Ini yakin nih mau gini-gini aja?"
"Saya pengen ngelakuin A, tapi saya merasa sendiri dan asing"
"Kok rasanya jadi tidak punya bensin yang membakar?"
"Mau diam saja menutup mata dengan ketidakmajuan yang bahkan terasa mundur ini?"
"Kenapa saya seperti tidak sedang membangun peradaban yang jadi visi lembaga ini?"
Tetapi semua hanya berputar dalam kepala.
Ketika ibu mencurahkan isi hatinya lewat pesan teks yang begitu panjangnya, lalu tidak membalas satu pun WA berhari-hari kemudian. Saya merasa terganggu sekali.
Saya izin pulang ketika ada liburan singkat di akhir tahun 2024 dan akhirnya semua berubah dari sana.
2025 menjadi awal saya memberi ruang kepada diri untuk merubah haluan hidup.
Saya akhirnya memilih untuk mencoba berfokus di kampung saja, mengembangkan kios kecil milik keluarga dan berencana membuka beberapa usaha kecil-kecilan disampingnya. Baru saya rencanakan alurnya, gambarannya, begini-begitu, Allah menakdirkan saya memberi ruang yang lain yang out of the plan bagi diri saya. Yang tidak ada dalam list rencana satu tahun itu. Menikah.
Tanpa pacaran, tanpa proses tunggu yang panjang setelah khitbah. Kami menikah di rantauan dengan mengandalkan uang sendiri. Berusaha tak merepotkan sepeserpun dari orang tua kami. Dibantu sesama saudara rantauan dari timur, kami melangsungkan resepsi kecil yang begitu membahagiakan. Dipikirkan matang-matang? Oh jelas. Singkat dalam satu malam saya mengiyakan ajakannya. Tapi perlu proses bertahun-tahun untuk sampai ke situ.
Dan begitulah, 2025 menjadi tahun saya memberi ruangan yang benar-benar baru bagi diri. Status sosial baru. Istri full IRT tidak bekerja. Ibu, dan hidup di perantauan. Alhamdulillah 'ala kulli hal.
Semoga tahun 2026 menjadi wadah berkembang lebih baik lagi. Semoga Allah memberi kesempatan, kesehatan dan umur yang berkah. Aaamin Aaamin ya Robbal 'Alamin.
Bogor, 22 Oktober 2025
.jpg)

0 Response to "Refleksi 2025 (1): Memberi ruang baru bagi diri"
Silahkan tinggalkan komentar di sini. - Please, leave a comment here.