Setelah menonton Dirty Vote 2 O3

Hai... Sudah hampir 5 hari saya mengisi waktu hening ketika ngaso dengan memutar Dirty Vote volume dua (DV2) yang kali ini punya judul kecil O³ (Otot, Otak, Ongkos). 
Entah sudah berapa kali mengulang-ulang memutarnya untuk mencerna kembali. Menyisihkan 4 jam memutar DV2 untuk membunuh sepi di sela-sela menghabiskan sarapan, menyetrika baju dan menyiapkan makan siang cukup membuat saya tidak bengong karna kali ini film karya mas Dandhy Laksono ini betul-betul menjawab beberapa keheranan dalam kepala saya sejak beberapa tahun terakhir.

Dua hari setelah DV2 keluar, saya baru punya kesempatan untuk nonton. Sebagai ibu rumah tangga yang sekarang jarang memiliki kesibukan untuk online di layar gadget, membuat saya tidak se-update ketika masih singel. Namun saya tetap rajin mengecek channel-channel YouTube dengan tayangan yang suka saya tonton. Meski jadinya terlambat menonton dari tanggal rilisnya, atau baru tau setelah sudah ramai.

Saya bukan orang yang mampu berbicara terkait politik negara. Ini mungkin jadi postingan pertama yang ada bau-bau politiknya meski isinya cuma menceracau. Selain karena tidak punya kapasitas dan background sedikitpun, saya juga hanyalah warga negara yang tidak punya daya bersuara tentang itu. Tetapi saya tetap sangat menikmati segala tayangan dan beritanya. Ini jadi satu hal yang sering membuat beberapa teman heran karena saya secara konsisten menonton tiap berita pergerakan politik di media seperti video-video dari channel Tempo dengan Tajuk Bocor Alus Politik, terkadang pula video dari bapak-bapak yang memang khas dengan background politik negara seperti Hersubeno Point, Helmy Yahya, Akbar Faizal dll. Seolah orang yang melek sekali pada soal politik. 
Padahal, saya hanya berusaha menyuap otak dengan tayangan yang bukan sekedar pemuas mata atau pemanja telinga.
Jadi, postingan saya ini bukan untuk mendebat atau mengkritik. Namun murni hanya menuliskan isi kepala saya setelah menonton film tersebut.

Sejak rilisnya Sexy Killers di tahun 2019, saya akhirnya jadi penikmat segala tayangan dari mas Dhandy ataupun dari rumah produksi Watchdoc.  Wah, saya bahkan masih ingat tahun rilisnya karna film itu menemani akhir pekan perkuliahan saya. Mas Dhandy adalah seorang jurnalis investigawan dan sering menyutradarai film dokumenter. Selain filmnya menambah banyak pengetahuan baru bagi manusia terbatas seperti saya, film-filmnya menjadikan saya lebih membuka mata dan memikirkan skenario di balik layar dalam mengamati kejadian apa saja yang terjadi di sekitar saya.

Nah, tiga hal dari DV2 yang menjawab keheranan saya adalah Setya Novanto, Perekrutan TNI, dan Bansos di desa kami.

Mungkin ada yang berpikir, kenapa saya menyebut Setya Novanto? Padahal akhir-akhir ini kan beliau tenggelam dari pemberitaan publik. Jadi begini... Ketika muncul penjelasan hampir di akhir film tentang bagaimana banyak dari anggota legislatif yang duduk di kursi DPR ternyata jauh dari representasi daerah yang mereka wakili; tidak lahir atau besar di daerah tersebut, tidak biasa aktif berpolitik di daerah tersebut, bahkan tidak berdomisili tersebut lalu disebutlah contoh nama Setya Novanto sebagai wakil dari Nusa Tenggara Timur, mulut saya langsung membulat "Oh", pantas saja saya dulu sangat keheranan ketika setelah baru mengetahui tentang bapak berjas kuning tersebut dari viralnya kasus korupsi e-KTP, eh ketika pulang dari rantau ke NTT, malah banyak menemukan wajahnya berseliweran di spanduk pinggir jalan yang isinya pilih ia sebagai wakil rakyat dari NTT. Waktu itu saya berpikir, "beliau udah ngapain aja sih di NTT kok sampai didapuk jadi wakil dari suara kami?" Tapi memang saat itu saya tidak banyak cari tau tentang beliau dan kiprahnya. Jadi ya sebatas itu saja.
Namun hal itu jadi membuat saya kembali terpikirkan dengan para anggota legislatif lainnya. Apalagi yang tidak pernah kelihatan lalu tiba-tiba wajahnya sudah ada di pamflet pencalonan anggota legislatif. Benarkah mereka mewakili suara dapil mereka?

Penjelasan terkait Otot yang mengawali film juga jadi menjawab keheranan saya terkait perekrutan anggota TNI yang saya memang terasa masif bagi saya pribadi. Bukan apa-apa di desa kecil kami, dalam hitungan 1 tahun terakhir, sudah ada sekitar 7 hingga 10 pemuda yang ikut perekrutan tentara. Bukannya saya tidak bersyukur, bahwa anak-anak muda itu jadi tidak hanya duduk menganggur saja dan bisa bermanfaat untuk negeri. Tapi melihat setelah puluhan tahun terakhir yang mana terhitung hanya 2 hingga tiga orang yang menjadi anggota TNI di desa kami, jadi terasa sekali bahwa ini perekrutan yang cukup besar dan sering, karna baru saja selesai 1 pelantikan, sudah ada jalur pendaftaran TNI lain lagi yang dibuka. Ditambah karena saya bekerja di rantau, dan menemukan banyak anak-anak muda di lingkungan kerja saya juga beberapa kali lolos seleksi, saya jadi mempertanyakan, ada agenda apa yang dipersiapkan pemerintah? Saya malah sempat konyol berpikir, apakah ini lama-lama akan berubah jadi wajib militer?
Tapi saya teringat lagi sebuah video dari tim jurnalis Tempo yang meliput pembukaan lahan besar-besaran di Papua yang mempekerjakan para TNI dalam pembersihan, pembajakan tanah, serta persiapan tanam. Saya terpikir lagi, oh mungkin bukan wajib militer. Pemerintah lagi butuh tenaga muda yang siap direkrut, dikirim dan dipekerjakan secara sukarela tapi maksa di daerah-daerah pedalaman.
Di pertengahan 2025, ketika seorang teman bercerita bahwa suaminya sedang mengikuti pelatihan TNI dari jalur PNS yang ikut program ketahanan pangan karena akan direkrut dan dipekerjakan dalam mengurus MBG di Riau, mata saya perlahan terbuka. Mungkin ini lapangan kerja yang dijanjikan Presiden & Wapres. 

Ketika akhirnya mas Zainal dalam film menyebutkan tentang Ongkos, saya merenung ulang lagi. Karena bansos ini sudah pernah disebutkan di Dirty Vote pertama, saya merenung kembali tentang segala macam bantuan yang juga pernah ikut saya nikmati.
Di desa kami, bantuan untuk keluarga miskin mungkin tidak saya rasakan karna tidak masuk dalam kelompok tersebut dalam data desa, saya tetap berkernyit heran karena rasanya bantuan itu datang semakin sering di tahun 2024 hingga 2025. Waktu itu saya cukup bersyukur karena bantuan tersebut memang sangat berguna untuk para penerima manfaat di desa kami, tapi begitu mendengar celutukan dari mereka untuk nanti memilih presiden yang tetap mendukung bansos ke desa, saya langsung berpikir, hmm.. bau politik sangat tercium. 

Nah tentang Politik Bansos dari parcok dan parjo. Karena pernah tinggal cukup lama di lingkup ponpes, saya cukup sering merasakan mendapatkan bantuan sosial dari polisi ataupun tentara. Sebenarnya dari dahulu, sudah puluhan tahun, ponpes kami sudah punya relasi yang baik dengan polisi dan tentara. Dan beberapa dari mereka secara pribadi terutama anggota yang beragama muslim, menjadi donatur tetap seperti donatur kami yang lainnya. Mereka punya jadwal rutinan tahunan, bulanan atau bahkan mingguan untuk menyambang atau berbagi. Tidak hanya itu, beberapa pejabat non parcok-parjo yang non muslim juga sering memberikan bantuan. Mereka tidak menyelipkan kampanye terselubung saat berbagi bantuan tersebut. Bahkan ada yang saking rutin dan tanpa embel-embel, bantuannya diantar oleh petugas/asisten, diturunkan dari sarana pengangkut (mobil, oto pick-up), difoto barangnya saja yang tanpa ada tempelan nama pengirim untuk kirim bukti sudah drop pada si bos, dan hanya berucap "biasa.. dari bapak A ya.." lalu pamit pergi. Jadi saya murni berpikir itu memang ajang mereka untuk bersilaturahim dan meraih kebaikan.

Nah, itulah beberapa pemikiran random yang bermunculan di kepala setelah menonton DV2. Kalau teman-teman sudah nonton, apa yang terpikirkan setelah menonton film tersebut? Ayo share!

Screenshoot thumbnail film Dirty Vote 1 & 2
Screenshoot thumbnail film
Dirty Vote 1 & 2



Bogor, 26 Oktober 2025