Yang dirindukan dari Hidayatullah Batakte - Kupang Barat, NTT





Angin siang itu sepoi-sepoi.


Sholat dhuhur sudah selesai lebih dari satu jam yang lalu, tapi masjid masih ramai oleh santriwati. Ada yang sedang mengaji dengan khusuknya di shaf pertama, ada bersandar pada tembok dengan mulut yang berkomat-kamit sambil sesekali alisnya berkerut matanya terbuka untuk melihat Al-qur’an kemudian terpejam lagi. Ada yang menopangkan dagunya pada jendela setengah rusak (tua, ala) setinggi betis orang dewasa, matanya memandang kosong kedepan dengan pikiran yang entah sudah berada dimana. Ada juga yang tergolek lurus-lurus dengan balutan mukenahnya di sudut-sudut masjid, bak kue nagasari yang tergelatak, terlelap dalam mimpinya. Beberapa diantaranya khusuk menulis dibuku, menyicil tugas-tugas sekolah yang tak berkesudahan. Sisanya sibuk tertawa cekikikan sambil mencolak-colek teman ceritanya.


Dari asrama, suara riuh terdengar. Sebentar-sebentar teriakan marah, sebentar lagi suara cekikikan. Bunyi jeriken-jeriken dan ember serta ‘bilmas’ yang saling beradu juga sesekali terdengar. Entah sudah berapa kali para jerigen dan ember itu lalu-lalang dari sumur ke belakang asrama, menunaikan tugas mereka sebagai wadah pembawa air untuk para santriwati ini, sampai berlumut, sampai peot, lalu hancur terabaikan.


Ah, bagaimanapun juga ini akan jadi suasana yang kurindukan dari tempat ini.

Batakte. Ramadhan 1435
@Teras Masjid Aqshal Madinah