Dibanding-bandingkan dengan adik sendiri itu rasanya sakit tapi tak berdarah

DIBANDING-BANDINGKAN DENGAN ORANG LAIN? 

Dari judulnya saja sudah kelihatan kalau ini post tentang curhatan. Hahaha.
Aku menulis ini setelah tidak bisa menahan keinginanku untuk tidak menulis kegusaranku ini selama satu bulan. Mungkin dari para pembaca akan merasa bahwa postingan ini tidak sopan karena membicarakan orang lain.
Tapi aku ingin ini menjadi pelajaran bagi semua orang, bukan hanya guru, pendidik, orang dewasa dan semua orang, bahwa:
Hey! Tidak semua orang terlahir sama
(tidak terlahir dengan kemampuan dan anugerah yang sama).
Iya.. Point sebenarnya hanya itu tapi kebanyakan orang lupa, bahwa meskipun itu dua orang saudara kembar, dua orang saudara seibu sebapak, apalagi hanya dua orang teman sebangku, setiap individu memiliki kemampuan, daya serap, daya tangkap, daya ingat, dan motivasi belajar yang berbeda-beda. 

Gb. 1: Contoh figur yang sering dibanding-bandingkan
sumber: instagram/zaskiasungkar15

Tau dua perempuan pada foto gb. 1 diatas? 
Mereka adalah Zaskia Sungkar dan Shireen Sungkar. Mereka adalah kakak beradik yang sering sekali dibanding-bandingkan oleh beberapa orang. Sebuah contoh figur yang langsung terbersit ketika saya bingung cari thumbnail untuk post saudara yang dibanding-bandingkan ini. 

Membandingkan itu kurang bahkan tidak baik

Membandingkan kemampuan seorang, dalam usia apapun itu, tidak membuat seseorang merasa lebih termotivasi dengan baik secara emosional. Apalagi membandingkannnya dengan perkataaan yang menjatuhkan dan menampakkan kelemahan orang.
2 tahun jadi guru ini, aku tanamkan dalam diriku untuk tidak membandingkan muridku dengan teman-temannya. Dengan siapapun!
Kewajiban sebagai pendidik itu membagi pengetahuan agar pelajar bisa tahu juga pengetahuan itu. Haknya? Ya dihormati dan dihargai.
Tapi coba deh kutanya,
Bagaimana orang bisa menghormati kita kalau kita melukai hatinya.

OK, baiklah. Selow. Mungkin memang ada saja manusia berhati ajaib yang tetap tak merasa dilukai meski jelas-jelas itu menyakitkan. Tapi... Pasti ada juga dong manusia yang sensitif.

Dibandingkan dengan adik perempuan dalam masalah hafalan Qur'an

"Kok lama sih?"
"Kok lambat hafalnya? Adikmu saja sudah hafal 30 juz. Masa kamu baru 3 juz lupa-lupa ingat?"

Itu yang dikatakan seorang kepadaku. Padahal ketika dia mengatakan itu, dia sudah tau latar belakang kondisi belajar aku dan adikku.

Aku menghafal di usia bukan remaja; 22 tahun, disamping pekerjaanku sebagai seorang guru juga seorang penulis lepas.
Aku menghafal sendirian, tanpa seorang teman. Sendirian tinggal di asrama besar.
Aku menghafal tanpa kemauanku sendiri. Aku menghafal dibawah pemikiran aku seharusnya tidak berada di sini, mengerjakan ini: menghafal, dan meninggalkan kewajiban lain yang telah matang-matang kurencanakan setahun lebih. Dipaksa ada di sini, untuk menghafal.
Aku menghafal dengan dikelilingi gadget. Ditambah lagi sebelum memulai program hafalan ini, aku sudah terlebih dahulu asyik tenggelam dengan gadget selama 5 tahun lebih dan baru perlahan-perlahan menguranginya.

Sedangkan adikku?
Dia memulai hafalan 30 juznya itu di usia remaja; 16 masuk 17 tahun. Dengan awal memulai, ia sudah punya cita-cita untuk menghafal 30 juz.
Dia menghafal sebagai seorang pelajar yang memang menghafal adalah salah satu syarat kelulusannya untuk meraih gelar juga salah satu merupakan program unggulan kampusnya.
Dia menghafal ditengah kondisi yang sangat mendukung. Dia tinggal di asrama yang kurang dalam waktu berinteraksi dengan teknologi dan penggunaan gadget. Dia tidak sendirian menghafal. Dia bukan satu-satunya orang yang menghafal. Semua orang-orang yang tinggal disamping kiri-kanannya memegang Alqur'an. Mengahafal!
Dia menghafal dengan keinginannya sendiri. Dengan pemikiran bulat bahwa dia harus menghafal 30 juz sebagai hadiah untuk ummi abi. Tanpa ada kewajiban asli yang telah dipunya sebelum dipaksa menghafal.

DAN SATU LAGI PERBEDAAN BESAR YANG ADA!
30 juz itu dihafal adikku selama 4 tahun!
Lah aku? Baru saja 2 bulan lebih memulai dari setengah juz 30 dan akhirnya sudah mencapai juz 28 lalu dibandingkan seperti itu?
WHAT A HURTING POINT OF COMPARISON!!!

DAN JUGA!
Orang yang mengatakan ini bahkan belum pernah menyimak hafalan adikku untuk tau apakah adikku tidak pernah salah sedikitpun dalam hafalan 30 juznya itu lalu sudah membandingkan adikku dan aku yang salah penyebutan huruf alif saja harus mengulang lagi.

Duh.. Sudah ngegas sekali aku ya. Baiklah mari kita turunkan. 

Kenapa sih manusia membanding-bandingkan?

Iya. Aku heran sekali kenapa beberapa manusia suka sekali membanding-bandingkan? 
Apa memang manusia tercipta untuk membanding-bandingkan? 
Kalau emang banding-bandingin harga serta kualitas barang untuk pengambilan keputusan sebagai seorang konsumen dalam bidang ekonomi sih wajar banget.
Kalau banding-bandingin piring mana dengan porsi lebih penuh untuk meredakan amukan kampung tengah sih maklum. 
Kalau emang banding-bandingin harga dan kualitas sekolah untuk langkah awal penitian tangga menuju masa depan yang lebih baik mah oke banget lah ya. 

Lah ini? Banding-bandingin kemampuan manusia?
Punya hak apa kita untuk membanding-bandingkan kemampuan manusia yang sudah merupakan anugerah dari Pencipta Yang Maha Kuasa? 
Punya hak apa kita sebagai manusia yang diciptakan, bukan pencipta, untuk mengata-ngatai kemampuan seseorang?  
Punya hak apa kita sebagai guru untuk bisa melukai perasaan murid yang seharusnya kita bina agar memiliki rasa hormat pada kita? 

Sebagai seorang manusia, ini bukan pertama kalinya aku dibanding-bandingkan dengan adik perempuanku yang usianya hanya beda satu tahun denganku itu. Bahkan ibuku sendiri sering sekali membanding-bandingkan betapa buruknya aku dan betapa baiknya adikku yang bahkan nenekku sendiri beberapa kali lupa dan mengira bahwa aku yang adik dan adikku adalah kakak. Ini sih mungkin karena ukuran badan, atau aura bawaan yak? Sedih dah... Atau karena dia sedikit lebih rajin daripada aku? Iya. Sedikit. Karena menurutku, aku sudah melakukan rajin terbaik yang bisa kulakukan tapi selalu dinilai malas.

Baiklah... Untuk penutup;

Aku menulis ini bukan karena aku menyimpan dendam. Aku hanya ingin meluapkan kekesalanku. Sebab, benar saja, menulis sampai di paragraf ini sudah memberikan kelegaan di hati yang sedari siang panas tiap mengingat perbandingan itu.
Aku juga mempublikasikan pos ini sebagai pengingat bagi siapa saja agar berhati-hati dalam bersikap.
Ingat: Kemampuan itu anugerah Allah Yang Maha Kuasa, dan kita manusia tidak berhak mengata-ngatai kemampuan itu. KECUALI MEMANG KITA TAU BAHWA ORANG ITU TIDAK BERUSAHA.

Yaudah gitu aja. 
Makasih buat yang baca ini. Kalau emang ada. 
Selasa, 19 Mei 2020.
23:38 WIB
Ummu's pages