Keuangan di tangan istri yang tepat - Oktober Curcol
08 Oktober 2025
Hidup enak atau enakin hidup?
Saya pilih mensyukuri hidup. Dengan bersyukur, bisa bahagia, bisa senang, bisa merasa cukup, dan jadilah hidup terasa enak.
Beberapa waktu lalu, viral sebuah video dengan judul 10 ribu di tangan istri yang tepat. Bukan hal yang baru sebenarnya karna seingat saya beberapa tahun lalu, video seperti itu pernah viral juga sampai diparodikan dan dibuat animasi oleh salah satu animator Youtube yang sering saya tonton, Tekotok.
Entah realitanya atau sekadar konten agar videonya viral dan akunnya ramai lalu ia jadi banyak dapat endorse. Ya kan? Kita tidak pernah tau sebenarnya bagaimana di balik layar. Apakah betul seperti itu yang terjadi? Tapi memang karna segala yang ditampilkannya itu, lalu sampai membuat rumah tangga orang lain kena getah, maka ramailah netizen mengomentari video-videonya.
Saya bukan perempuan yang bisa mewujudkan "10rb sehari di tangan istri yang tepat" tapi juga bukan tipe belanja suka-suka tanpa perhitungan.
Kami hidup sesuai kebutuhan. Butuh ya dibeli kalau ada uangnya. Ketika perlu banget tapi gak ada uang, ya menabung sebisanya. Nah, karena sekarang sudah berstatus sebagai istri, saya jadi ingin bercermin dan ambil hikmah dari video viral tersebut.
Sedari kecil, lalu beranjak remaja hingga jadi gadis yang bisa berpenghasilan sendiri, saya selalu menyusun rencana ketika ingin beli sesuatu. Dilatih untuk tidak menghabiskan uang dengan sia-sia, pandai menabung, dan tidak menye-menye minta ini-itu ke orangtua. Pokoknya pintar-pintar mengatur keuangan.
Ngomongin tentang mengatur uang, berarti ngomongin tentang ekonomi. Ketika masih singel, mengatur uang mungkin terasa tidak sekompleks ketika sudah menikah, karena hanya butuh 1 kepala, 1 pemikiran. Ketika telah hidup berumah tangga, dua kepala dipertemukan. Suami dan istri, yang masing-masing punya peranan dan tugas yang tidak kecil. Suami sebagaimana telah diketahui, punya peran dalam mencari nafkah dan istri berperan untuk mengatur dan mengelola hasil nafkah yang didapatkan suami. Dalam peran itu dua-duanya harus saling berkomunikasi, mencari jalan keluar untuk suatu persoalan demi tercapainya kecukupan dan kesejahteraan.
Dari kacamata beberapa orang, hidup saya katanya terlihat enak. Sejahtera. Senang terus, tak kenal susah. Saya sering tertawa dalam hati kalau ada yang berkomentar begitu. Ah itu kan kelihatannya saja.
Waktu kecil, memang saya tidak mengenal susah. Apa sih yang dipikirkan oleh anak kecil? Main, belajar, tidur, makan, menuruti kata orangtua. Kedua orangtua kami bukan tipe yang suka berkeluh kesah di hadapan kami. Jadi yang kami tau, ya hidup cukup dan tidak lapar. Namun sejak kuliah di rantau, sengaja memanjangkan tidur demi menahan lapar pun sering dilalui. Ketika jauh dari orang tua, dan uang betul-betul habis, rasanya malu sekali untuk menceritakan pada mereka. Saya juga bukan orang yang berkoar-koar kalau sedang susah, atau curhat ke banyak orang. Lagipula bentuk dan tingkatan cobaan orang itu berbeda-beda. Alhamdulillah saya masih punya teman-teman baik semasa kuliah yang begitu ringan tangan membantu dan berbagi. Jadi saya memang tetap perlu banyak-banyak bersyukur dengan segala nikmat sepanjang hidup ini.
So, kira-kira dari mana ya orang yang tidak pernah hidup berdampingan dekat dengan saya menyimpulkan seperti itu?
Ah, warung kecil itu, warung milik orang tua kami yang lantas membuat mereka mengira saya tidak pernah kekurangan. Warung yang bahkan baru saya lihat wujudnya setelah 6 tahun pulang dari perantauan. Warung yang baru ada ketika 4 orang anak kecil dalam rumah yang hanya beda 2 tingkat tahun sekolah, akhirnya semua berangkat merantau menimba ilmu ke pondok, meninggalkan rumah. Saya bahkan tidak tahu-menahu sampai adik saya menceritakan tentang warung yang baru dirintis kecil itu saat menyusul saya di rantau. Mungkin saat itulah orangtua kami baru punya cukup uang untuk mulai merintis warung kios tersebut dari kecil-kecil hingga lumayan. Dan juga karena tempat tugas abi yang sudah kembali dekat kampung halaman, jadi tidak banyak pengeluaran seperti saat bertugas di rantau.
Hm, mungkin karna itu. Ya. Saya rasa karena orang tua saya yang pandai dalam mengatur keuangan, terutama ummi (panggilan untuk ibu, dan abi untuk bapak). Makanya kami terlihat hidup enak.
Mengatur ekonomi dengan baik bagi pasangan suami-istri, bukan berarti pelit dalam pengeluaran hidup sehari-hari. Tapi hidup dengan memperhatikan dan menimbang segala aspek. Dapur harus tetap mengepul dan anak-anak bisa belajar dan tumbuh dengan baik.
Saya ingat saat SD setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, kami selalu sarapan bubur. Seringnya tanpa lauk karna bubur sudah dicampur perasan santan kelapa jadi rasanya sudah sangat gurih. Tapi kadang juga dengan ikan goreng, ikan asin kering, atau ikan rebus berkuah. Dulu saya kira itu suatu rutinitas biasa. Sampai ketika sudah dewasa, bekerja dan saya iseng menanyakan ke ummi, jawabannya bikin air mata bergumpal di sudut mata saya.
"Ummi dulu kan kita selalu sarapan bubur to? Kenapa sekarang tidak lagi? Ummi tidak mau buat bubur lagi kah?"
"Tidak laa... Tidak sempat saja."
"Ah, masa? Bubur kan tinggal kas masok beras saja dengan air banyak"
Setelah saya korek-korek, akhirnya ummi bilang,
"Dulu selalu masak sarapan bubur itu cara ummi biar hemat beras, kaka. Ada 7 kepala yang harus makan setiap hari. 8 saat si bungsu lahir. Penghasilan abi tu kan PNS pangkat bawah, itu harus ummi pake pintar-pintar. Ditambah kita di rantau orang (tempat tugas abi) harus bayar kontrak rumah, dan seringnya gaji dirapel, tidak cair setiap bulan. Jadi begitu sudah to."
Kami makan seadanya memang, tapi karena itu masakan ummi, sambal tomat pun sudah sangat enak. Meski sederhana, ummi-abi selalu mengusahakan di piring ada nasi dan lauk-pauk (sayur dan ikan). Abi akan bermotor sekitar 40 menitan ke pelabuhan untuk membeli ikan langsung dari para pemancing/nelayan. Padahal pasar begitu dekat dan saya sering ke sana dengan berjalan kaki. Dulu saya hanya tau rutinitas ke pelabuhan itu sebagai suatu hal menyenangkan karna bisa diajak jalan-jalan pergi melewati sawah dan melihat laut. Tapi setelah dewasa, saya tau itu cara ummi-abi menghemat agar mendapat ikan yang lebih banyak dan lebih murah.
Kami tidak dieja dan diceramahi, tapi perlahan terbiasa dalam ritme hidup yang tidak menuntut, juga tidak menuruti keinginan semata. Semua didasarkan kebutuhan.
Sepertinya itu bisa masuk dalam cerminan suami-istri yang mengatur ekonomi dengan baik. Ummi-abi mampu mendidik anak-anak untuk hidup dalam keserhanaan.
Baju kami meski sering dijahit tambal berulang karna sobek saat bermain terlalu petakilan, tapi kami selalu berpakaian pantas dan bersih. Tas sekolah dibelikan ketika sudah rusak dan robek tak bisa dijahit kembali. Sepatu sekolah kami satu untuk masing-masing orang dan hanya akan berganti baru ketika sudah betul-betul rusak/sempit. Adik perempuanku pernah mendapat sepatu "warisan" dariku karna dirasa kakinya masih cukup muat. Dia cukup sering mendapat beberapa barang bekas dariku terutama buku-buku cetak. Saat sepatu itu sudah mulai tidak muat, dan disebabkan belum bisa dibelikan yang baru karena kami baru saja pindahan rumah antar pulau yang menghabiskan banyak pengeluaran, adikku tetap memakai sepatu itu sampai sobek di depan juga bolong di bagian belakang sepatu, dan ia diganggu "Lihat, sepatunya punya mata dan mulut!" oleh teman-teman sekelasnya. Aku ingat sekali kejadian itu ia ceritakan sepulang sekolah. Kami murid baru di sekolah itu dan itu jadi satu-satunya kejadian yang cukup bikin sedih tapi lucu untuk kami kenang. Selebihnya karna badannya yang mulai tumbuh lebih tinggi dariku, ia tidak menerima pakaian/sepatu warisanku lagi.
Kami tidak pernah diberi uang jajan ke sekolah. Tidak pernah, sekalipun di luar sekolah. Makanya sarapan itu wajib bagi kami. Ketika beberapa kali saya mengikuti lomba dan harus menginap 1-2 minggu di kota lainpun, tidak ada uang sangu. Tapi saya ingat kalau saya tidak bersedih hati. Karena memang tidak dibiasakan jajan. Semua kebutuhan dilengkapi di tas; sabun, odol, dengan 1-2 bungkus biskuit, roti atau permen. Namun ummi-abi juga bukan orangtua yang korup, uang dari juara lomba-lomba yang kami ikuti tidak pernah diganggu gugat. Mereka memberi kami kebebasan penuh untuk kami gunakan. Tapi kami disarankan menabung dan membeli barang yang bermanfaat. Kalau kami iseng diberi jajan oleh tamu pun uang tersebut tidak diganggu gugat.
Hidup dalam kesederhanaan dan ummi-abi tetap berusahan melakukan kewajiban mereka sebagai orangtua dan memenuhi hak-hak kami sebagai anak-anak mereka.
Selain bersekolah dan diajari pendidikan agama langsung di dalam rumah, ummi-abi juga bertanggung jawab pada tumbuh-kembang pendidikan dengan mendaftarkan kami di les/privat dekat rumah, Bahasa Inggris & Komputer yang paling kusukai. Mereka juga aktif memeriksa hafalan Qur'an kami. Ummi-abi rutin membelikan kami banyak sekali buku-buku ensiklopedia, siroh nabawi, kisah-kisah sahabat dll. Kesemuanya adalah buku-buku mahal dengan halaman tebal dan sampul hard-cover yang tidak gampang lecek.
Ummi-abi juga selalu membelikan buku cetak/paket per mata pelajaran setiap semester. Satu hal yang saya banggakan saat kecil. Karna meski kami tidak jajan seperti teman-teman di sekolah, tapi kami selalu punya buku paket yang tidak dimiliki teman-teman.
Ummi-Abi tidak pernah sekalipun membelikan mainan. Pernah sih, ketika masing-masing kami berusia batita, sebagai alat bantu untuk sensorik-motorik kami.
Kami semua baik perempuan dan laki-laki ditugaskan pekerjaan rumah dengan piket mencuci piring dan menyapu rumah juga halaman setiap pagi dan sore, serta mencuci sepatu dan kaos kaki sendiri di akhir pekan. Itu saja. Selebihnya ummi sang superwoman yang mengerjakan semuanya.
Ah, jadinya malah mengenang masa-masa itu.
Maksud saya dari semua cerita itu di sini adalah, saya jadi merasa ummi adalah figur tepat dalam contoh "mengatur penghasilan kecil di tangan istri yang tepat", hehee. Soalnya melihat bagaimana ia mengatur keuangan dari penghasilan PNS golongan terendah daerah NTT di tahun 2002 yang dipercayakan penuh oleh abi kepadanya, menyediakan uang untuk pendidikan kami dan selalu menjamin pakaian kami bersih, rumah rapi, makan kami tidak terlambat, tiga kali sehari lengkap lauk-pauk, sederhana tapi enak, ummi sangat best!!! Meski ada kurangnya, tapi kami kecil tidak pernah dibiarkannya tau kesusahan yang dirasa. Allahumma baarik 'ala abii wa ummii.
Nah, jadi antara hidup enak atau enakin hidup... Dari kecil, kami diajarkan bersyukur dan menghargai apa yang kami punya. Lebih ataupun kurang. Makanya kami merasa enak-enak saja.
Selanjutnya, saya tumbuh beranjak remaja dengan hidup di pondok. Tidak pulang bertahun-tahun hingga SMA kelas 2. Lagi-lagi cara abi-ummi bertanggung jawab atas pendidikan kami begitu luar biasa. Saya mondok di sebuah pondok pesantren modern di kota Malang, sekolah keren yang sekarang sudah berkembang pesat jadi sekolah internasional dan memiliki banyak cabang juga usaha.
Lalu, saya kuliah dengan beasiswa, bukan satu hal yang patut saya banggakan di sini, namun sebagai suatu cara tahadduts bin ni'mah membicarakan perekonomian keluarga / mengatur uang, maka akan saya sebutkan, bahwa beasiswa itu begitu saya syukuri sedalam-dalamnya karena orangtua tidak repot membayar SPP/UKT yang ketika saya tahu nominalnya di semester kelima kuliah, membuat saya terkesiap dan membendung air mata, 5jt lebih per-semester bukan angka yang kecil bagi single mom kami yang ke empat anaknya sedang mengenyam bangku pendidikan. Ya. ummi saya menjadi orangtua tunggal sepeninggal abi di saat saya baru memulai kuliah. Pun dengan biaya lainnya seperti PPL, KKN, Sempro, Sidang Skripsi ataupun wisuda, semua sudah termasuk dalam biaya UKT.
Karena dapat living cost bulanan dari beasiswa itu, saya berusaha sehemat mungkin. Tidak foya-foya karna sudah terbiasa sejak kecil. Meski karena turunnya setahun sekali untuk 12 bulan, lalu hampir setengahnya habis untuk membayar biaya sewa kos-kosan, maka ketika kewalahan dan dompet menjerit di akhir tahun, saya akhirnya menengadahkan tangan penuh malu ke ummi; ibu kami yang cerewet tapi super baik itu. Tidak banyak. Cukup untuk bertahan makan minum dan print/fotokopi ketika ada tugas kuliah. Saya sadar, ummi perlu mengirim untuk adik saya tiap bulan yang juga berkuliah, dan membayar uang UKT serta uang makannya karna ia berasrama. Saya lalu mencoba mengajar private, meski banyak habis di ongkos transpotasi karena rumah murid yang cukup jauh. Hahaha.
Setelah mulai bekerja selulus kuliah, saya berusaha mulai mengatur keuangan pribadi saya. Saya usahakan menabung dan memisahkan dana ini-itu, yang ternyata sangat berguna di masa-masa ketika ada tugas keluar kota dan perbekalan habis, atau ketika adik-adik dan para sepupu minta sokongan bantuan biaya kuliah dsbg., dan tabungan itu sangat-sangat berguna ketika akhirnya memutuskan menikah.
Ketika harus resign karna akan menikah dan pindah ke tempat suami, saya tidak punya lagi pemasukan dan harus mengeluarkan banyak uang tentu saja. Maka Alhamdulillah perantara tabungan saya adalah penyelamat. Segala persiapan menuju menikah, biaya bolak-balik antar pulau, biaya transport PP adik laki-laki sebagai wali nikah, biaya memulai hidup di tempat baru, dll. semua saya gunakan dari uang tabungan. Alhamdulillah ya Allah. Saya merasa terharu sekali dengan kasih sayang Allah yang memampukan saya menabung sebelum-sebelumnya.
Ditambah pernikahan kami yang tidak merepotkan sepeserpun dari orang tua, membuat saya merasakan syukur yang berkali-kali lipatnya.
Memang sempat terpikirkan, bahwa suatu saat saya akan butuh uang sendiri untuk mengurus pernikahan. Bagi saya, bukan hanya laki-laki yang harus mempersiapkan keuangan sejak muda untuk persiapan berumah tangga. Perempuan juga perlu.
Alhamdulillah pula, Allah menganugerahi suami yang bisa menyokong saya dengan baik. Tipe mandiri dan tidak biasa menceritakan kesusahan.
Dan sekarang ini, saya habis tertawa melihat tulisan di buku saya. Deretan list rencana yang sampai begitu jauh hingga ke tahun depan. Lah ternyata, suami malah kepikirannya sudah lebih jauh ke depannya lagi.
"Jangan ketawa, dek. Tugasmu itu mendo'akan. Selama itu sesuatu yang baik, Insyaa Allah akan diberikan jalan dan kemudahan. Sama kayak nikah kita yang tiba-tiba itu. Allah kasih jalan kemudahan kan?" Begitu katanya ketika aku terkekeh-kekeh mendengar ia menceritakan apa yang ia pikirkan.
Ya. Nikah kami dipersiapkan begitu singkat tidak sampai sebulan. Tidak ada pacaran sebelum nikah. Tidak ada HTS, mesra-mesra atau apalah. Suatu hari dikhitbah melalui telepon. Minta restu orang tua, dan langsung tancap gas mengurus administrasi.
Dan seperti yang saya sebutkan, bisa menikah tanpa merepotkan sepeserpun dari orang tua juga menjadi salah satu kemudahan yang membuat kami tidak perlu menunda-nunda. Karna di rantau, resepsi kecil-kecilan kami dibantu oleh ibu angkat suami yang super baik, juga sanak sesama rantauan dari timur yang punya jargon "kita deng kita jadi..." Suami yang saat itu masih calon, mengusahakan yang terbaik dengan mem-provide rumah kontrakan yang layak dan membeli perintilan ini-itu dalam rumah agar saya dan keluarga tidak kerepotan dalam waktu tunggu menuju hari akad.
Nah, sekarang ini waktunya saya yang harus ambil peran untuk jadi istri yang bisa mengatur ekonomi dengan baik. Saya pilih kata baik, bukan tepat. Banyak-banyak mengevaluasi dan berdiskusi dengan suami.
"Enakin aja lah." Kata suami di suatu saat.
"Ada ya dipergunakan. Tidak bisa bantu orang ya kita bilang. Kalau kita bisa bantu, ya kita bantu. Allah Yang Atur rezeki to, dek?"
Alhamdulillah. Ya Robbi Ya Muhyi Ya Rozzaq, Berkahi dan mudahkan segalanya.
Beri umur yang berkah untuk ummi dan mama-bapak kami. Ampuni dosa-dosa abi. Sayangi mereka. Berikan balasan terbaik dengan rahmat-Mu untuk segala letih mereka dalam merawat dan membesarkan kami. Aaamiin.
.jpg)

0 Response to "Keuangan di tangan istri yang tepat - Oktober Curcol"
Silahkan tinggalkan komentar di sini. - Please, leave a comment here.